![]()
Geger
1998 yang melengserkan Presiden Soeharto sebetulnya belum merata. Bisa
dikatakan, ini cuma pecah di beberapa kampus, Gedung MPR/DPR, Glodok,
dan beberapa tempat di Jakarta. Situasi akan jauh berbeda dibandingkan
berkobarnya api dari tikus pithi anoto baris yang sekamnya kini mulai
rantak membara di sekujur Nusantara karena cekcok pemilu legislatif.
Namun,
tikus pithi anoto baris sebenarnya bisa dihindari. Nujum memang
bertugas membuat kita pasrah menyongsong kehadirannya yang laksana
nasib. Tetapi, bukankah nubuat juga bertugas membuat kita ancang-ancang,
waspada, dan melakukan berbagai nazar agar kehadirannya batal?
Membatalkan hasil pemilu?
Menggugurkan
hasil pemilu legislatif kelihatannya sudah tidak mungkin, demi beberapa
fakta. Antara lain, pertama, partai-partai besar dan partai-partai
lumayan sudah sibuk memikirkan koalisi untuk pemilu presiden. Artinya,
tanpa dikatakan, mereka sebenarnya sudah nrimo hasil pemilu legislatif.
Kedua,
Mahkamah Konstitusi mengatakan, pemilu legislatif mustahil dibatalkan.
Yang bisa diubah atas dasar persidangan perkara hanya komposisi
penghasilan suara partai.
Ketiga,
Prabowo Subianto sang ”Kuda Hitam”, perlu menggalang dukungan
partai-partai kecil untuk dapat maju dalam pemilu presiden. Dalam logika
sederhana dan awam, itu berarti partai-partai kecil harus
menandatangani berita acara keabsahan pemilu legislatif.
Cacah ulang
Yang
paling mungkin menghindari tikus pithi anoto baris adalah titah
kepemimpinan nasional agar semua pihak gotong royong membantu cacah
ulang peserta pemilu presiden mendatang. Ini karena perasaan saja bahwa
ada atau tidak ada rekayasa politik, daftar pemilih tetap (DPT) akan
kacau jika data mentah yang mendasarinya pun sudah kacau.
Titah
dan ketegasan sikap kepemimpinan nasional inilah yang akan membuat
cacah ulang data dasar tak bakal mustahil dilakukan dalam waktu singkat.
Apalagi dengan bantuan teknologi informasi.
Misalnya,
mengaktifkan lagi petugas BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional) yang tersebar sampai pelosok. Kita ingat, bahkan sampai
tingkat desa, para petugas itu tidak cuma mencatat peserta KB. Dalam
wilayah tugasnya dan dalam perkembangan berikutnya, mereka tahu siapa
yang Lampid (lahir, mati, pindah, datang). Kabarnya mereka masih punya
data hingga 2005. Sistem pendataannya pun masih ada. Begitu tombol
diaktifkan, ... jalan!
Titah
dan ketegasan sikap kepemimpinan nasional itu juga bisa menggerakkan
ibu-ibu PKK, Karang Taruna, dan Pramuka serta RT/RW untuk saling
bahu-membahu. Hasil pencacahan berbagai pihak itu saling di-cross check
dengan hasil dari administrasi kependudukan Depdagri yang punya wilayah
di tiap pusat provinsi maupun dinas-dinas catatan sipil tingkat
kota/kabupaten yang punya tangan sampai tingkat RT. Holopis kuntul baris
dan rambate rata hayo dari semua ini kita pasok data dasar ke KPU yang
selanjutnya akan memprosesnya menjadi DPT.
Mungkin
saja keaktifan penyelenggara negara dalam pencatatan ulang ini
menyimpang dari undang-undang yang justru mengharuskan rakyat aktif
mencatatkan diri sendiri, penyelenggara negara pasif. Tetapi, seingat
penulis, jika kemudian terbukti UU bertentangan dengan akal sehat dan
kondisi nyata masyarakat, kepemimpinan nasional bisa mengeluarkan
peraturan pengganti undang-undang. Maka, lebih baik mempunyai
undang-undang buruk tetapi hakimnya (pemimpinnya) baik dan bernurani
daripada sebaliknya.
Langkah lain
Selain
cacah ulang data yang mendasari penyusunan DPT untuk pemilu presiden,
mungkin masih ada langkah- langkah lain penghindaran tikus pithi anoto
baris. Yang pasti, segenap upaya penghindaran harus dituntaskan.
Ini
penting mengingat enam ramalan Joyoboyo sudah terjadi, yaitu Murcane
Sabdo Palon Noyo Genggong (runtuhnya Majapahit), Semut Ireng Anak-anak
Sapi (masuknya Belanda), Kebo Nyabrang Kali (Belanda kenyang dan
hengkang), Kejajah Saumur Jagung Karo Wong Cebol Kepalang (Jepang masuk
3,5 tahun), Pitik Tarung Sak Kandang (perang saudara zaman Bung Karno),
Kodok Ijo Ongkang-0ngkang (tentara berkuasa era Soeharto).
Hitung-hitung,
sambil menjajal diri, siapakah yang lebih sakti, kita semua dari
milenium ini atau ”cuma” seorang diri Joyoboyo dari abad ke-11 silam?
Sujiwo Tejo Dalang
|
Jumat, 29 Juni 2012
Waspadai Ramalan Ke-7 Joyoboyo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar